Benarkah tak ada halaman kosong bagi puisi yang ingin ditulis dengan rasa gembira?
apakah puisi yang lahir dari jari yang luka saja yang bisa diterima?
lalu bagaimana dengan puisi yang lahir dari jari yang luka tapi ditulis dengan rasa gembira?
apa pula yang terjadi dengan puisi gembira yang lahir dari jiwa yang luka?
bagaimana menilai puisi itu puisi luka atau puisi gembira?
yakinkah seseorang, ia sedang benar-benar terluka saat menulis puisi agar puisi ia diterima?
siapa yang pantas menerima puisi?
siapa yang pantas diterima puisi?
0 komentar:
Posting Komentar